Nilai dalam Substansi Kebijakan Publik
NILAI-NILAI
TERTENTU DALAM SUBSTANSI KEBIJAKAN PUBLIK YANG DITETAPKAN OLEH ANGGOTA DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)
Dicky
Nizar
Setahun sudah pemilu
legeslatif 2014 berlalu, dan baru kali ini saya bisa menulis tentang politik, topic
kali ini mengenai kebijakan public yang ditetapkan oleh Anggota legeslatif
khususnya di Kabupaten Cianjur. Mengenai kebijakan publik ini memang sangatlah
luas dan kompleks untuk dibahas, berbagai literature hasil penelitian ilmiah
telah banyak yang mengangkat permasalahan ini. Memang cukup menggelitik
permasalahan ini, banyak masyarakat khususnya di daerah pemilihan di Kabupaten
Cianjur yang telah memilih anggota dewan, masyarakat selalu menimbulkan
pertanyaan seperti, Apa yang kita rasakan setelah kita milih wakil rakyat?,
mana kebijakan yang pro rakyat yang mereka janjikan waktu kampanye? Pertanyaan
seperti itu yang selalu terlontar dari mereka, dan masyarakat sendiri
sebenarnya banyak yang tidak tahu fungsi ataupun kebijakan yang dapat
ditetapkan oleh dewan legeslatif yang notabene sebagai wakil mereka di
parlemen. Tanpa basa-basi lagi kita mulai :D
Partai
politik merupakan suatu organisasi yang mampu berpengaruh secara efektif serta
dapat merealisasikan aspirasi seseorang, ataupun suatu kelompok masyarakat
dalam suatu pemerintahan. Parpol juga mempunyai kekuatan massa yang pada
umumnya setiap anggota partai politik mempunyai loyalitas bersama, yang menjadi
pengikat bagi para anggotanya, yakni kehendak bersama, karena memang partai
politik dibangun oleh kehendak bersama. Kehendak bersama tersebut merupakan
ide/gagasan ataupun prinsip, yang kemudian didokumentasikan, sekaligus menjadi
acuan bagi para anggotanya dalam menetapkan setiap visi, dan misi, atau program
dan tujuan partainya. Hal inilah yang kita kenal dengan sebutan platform partai
politik, untuk selanjutnya kita sebut sebagai kepentingan partai politik.
Pada saat
rekruitmen partai, setiap calon anggota harus terlebih dahulu memenuhi/sepakat
dengan setiap persyaratan yang ada dalam platform partai/kepentingan partai.
Kelak calon tersebut menjadi anggota partai, ataupun menjadi kandidat partai di
lembaga legislatif, mereka akan memperjuangkan kepentingan partainya. Apabila
melanggar atau menyimpang dari kepentingan partai, maka anggota tersebut akan
dilepaskan dari keanggotaan. Hal ini dibuktikan dengan diimplementasikannya
Pasal 85 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD dan DPRD (UU Susduk), dan Pasal 8 huruf g Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002, tentang Partai Politik (UU Parpol). Di perkuat dengan payung konstitusi,
tepatnya pada pasal 22 B UUD 1945 Amandemen Kedua.
Terkait loyalitas
partai terhadap ide tertulis seperti platform partai dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, ada suatu hal yang harus dipahami secara benar oleh partai
politik dan juga masyarakat dalam interaksinya, bahwa partai politik dan
masyarakat mempunyai kepentingan yang sama di dalam penetapan kebijakan publik.
Apabila partai politik tertentu menyalurkan aspirasi masyarakat ke dalam
kebijakan publik, maka masyarakat akan memenuhi kepentingan partai politik
tersebut, yakni tetap mendukungnya. Maka idealnya partai politik mempunyai
kepentingan yang sama dengan masyarakat di dalam penetapan kebijakan publik.
Namun pada pelaksanaanya
terdapat nilai-nilai tertentu yang dapat mempengaruhi para aktor dalam proses
penetapan kebijakan publik, misalnya tekanan-tekanan politik dan sosial, kondisi-kondisi
ekonomi, persyaratan-persyaratan prosedural, komitmen-komitmen sebelumnya,
serta waktu yang sempit. Menurut James Anderson, factor lain yang dapat
mempengaruhi seperti nilai-nilai politik, nilai-nilai organisasi, nilai-nilai
pribadi, nilai-nilai kebijakan, serta nilai-nilai ideologi.
Dengan adanya factor-faktor
tersebut tentunya membuat kegundahan di tengah masyarakat, yang berharap akan
kebenaran, dan ketepatgunaan produk penetapan kebijakan publik tersebut.
Masyarakat sangat mengaharapkan moral, intelektualitas para actor kebijakan,
dalam menelaah dan menetapkan kebijakan terhadap setiap permasalahan yang ada
ataupun yang akan datang. Karena bagaimanapun juga, masyarakatlah yang secara
langsung menanggung dampak dari berbagai kebijakan tersebut. Salah satu contoh
seorang petani, menghawatirkan kebijakan pemerintah terkait penetapan harga produk
pertaniaannya, dan juga kebijakan terkait bidang lainnya.
1.
Tahapan
Kebijakan
Menurut
Lindblom (1986) Proses pengambilan kebijakan merupakan proses yang kompleks
karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji.
Oleh karena itu, proses
pengambilan kebijakan tersebut perlu dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan. Hal ini akan memudahkan
kita dalam memahami proses pengambilan
kebijakan
publik
a. Tahap
Penyusunan Agenda (Agenda Setting).
Di
sekitar lingkungan pemerintahan terdapat berbagai persoalan yang harus diselesaikan, namun masalah-masalah tersebut tidak
langsung mendapatkan perhatian
dari para pengambil kebijakan. Setiap
masalah publik harus mendapatkan
pengorganisasian agar masalah tersebut menjadi isu kebijakan yang akan dibahas para pembuat
kebijakan. Setelah suatu masalah diorganisasikan dengan
baik, selanjutnya isu tersebut diteruskan pada para pembuat kebijakan.
Maka masalah itu kemungkinan akan mendapat perhatian
dari para pejabat publik, untuk dicarikan penyelesaiannya. Pada tahapan inilah
dibutuhkan peranan partai politik, kelompok kepentingan, maupun masyarakat
secara umum untuk mengangkat suatu permasalahan yang sedang dihadapi oleh
masyarakat untuk menjadi isu kebijakan. Setelah berbagai isu kebijakan sampai
di tangan para pembuat kebijakan, berbagai isu tersebut harus bersaing untuk
mendapatkan perhatian yang lebih besar dari para pejabat publik. Hal ini
dikarenakan banyaknya persoalan (isu
kebijakan) yang sama-sama
membutuhkan penyelesaian. Pada tahapan ini suatu masalah (isu kebijakan)
mungkin tidak disentuh oleh para pengambil kebijakan, ada masalah yang
pembahasannya ditunda untuk beberapa waktu, dan ada masalah yang langsung
ditanggapi /dibahas oleh para pengambil kebijakan.
b. Tahap Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)
Masalah (isu kebijakan) yang telah masuk dalam agenda
setting kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Sejumlah permasalahan itu
dirumuskan melalui proses analisa yang cermat tentang pendefinisian masalah
tersebut, alternatif cara penanggulangannya apa, dan bagaimana dampaknya.
Pemecahan masalah tersebut, berasal dari berbagai alternatif kebijakan yang
telah disediakan. Alternatif-alternatif kebijakan inilah yang nantinya akan
dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Pada
tahap ini, pembuat kebijakan akan berusaha semaksimal mungkin untuk
memanifestasikan kepentingannya di dalam subsitansi kebijakan.
c. Tahap
Penetapan Kebijakan (Policy Adoption)
Pada tahap ini para pengambil kebijakan akan
mempertimbangkan berbagai alternatif kebijakan, bagaimana dampak (untung-rugi)
suatu alternatif kebijakan, bagaimana cara menerapkan alternatif. Setelah
melakukan penelahaan yang sangat cermat, para pengambil kebijakan akan
menetapkan salah satu alternatif kebijakan dari sejumlah alternatif yang
ditawarkan para perumus kebijakan.
d. Tahap
Implementasi Kebijakan (Policy
Implementation)
Tahap ini, suatu kebiajakan yang telah ditetapkan
harus diimplemetasikan agar kebijakan itu tidak hanya sebagai catatan elit
semata. Penerapan kebijakan ini membutuhkan keseriusan para pelaksana kebijakan
(birokrat) agar kebijakan tersebut dapat berfungsi secara optimal di dalam
masyarakat. Di dalam tahapan ini biasanya terjadi perbedaan sikap dari para
pelaksana kebijakan, ada yang mendukung dan ada pula yang menentang pelaksanaan
kebijakan tersebut.
e. Tahap
Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Pada tahap ini, kebijakan yang telah diimplementasikan
akan dievaluasi atau dihakimi (judged),
untuk melihat sejauh mana suatu kebijakan yang telah ditetapkan dan
diimplementasikan, mampu memberikan solusi pada masyarakat. Suatu kebijakan
tersebut bisa dinyatakan berhasil apabila kebijakan tersebut mampu menjawab
persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Sebaliknya, suatu kebijakan bisa
saja dinyatakan gagal apabila penerapan suatu kebijakan justru mendatangkan
persoalan yang baru yang lebih kompleks dari sebelumnya.
2. Pendekatan
Dalam Pengambilan Kebijakan
Dalam proses pengambilan kebijakan ini tentunya tidak
terlepas dari berbagai pendekatan, para ahli mengklasifikasikan beberapa
pendekatan dalam pengambilan kebijakan yaitu diantaranya :
a. Pendekatan
Kelompok
Menurut Winarno, pendekatan kelompok mempunyai anggapan
dasar bahwa interaksi, dan perjuangan antar kelompok merupakan kenyataan dari
kehidupan politik. Individu-individu hanya akan memiliki arti penting jika ia
merupakan partisan dalam atau menjdi wakil kelompok-kelompok. Hanya melalui kelompoklah
individu-individu berusaha mendapatkan pilihan-pilihan politik yang mereka
inginkan. Kebijakan publik pada suatu waktu merupakan equilibrium yang dicapai dalam
perjuangan kelompok. Equilibrium ini ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok
kepentingan yang diharapkan akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Besar kecilnya pengaruh kelompok-kelompok tersebut
ditentukan oleh jumlah kekayaan, kekuatan organiosasi, kepemimpinan, akses
terhadap para pembuat kebijakan, dan kohesi dalam kelompok.
b. Pendekatan
Elit
Menurut Anderson
(1984) “The essential argument of elite theory was not the people or masses who
determine public policy through their demands in actions; rather the public
policy was decided by a rulling elite, and carried into effect by public
official and agencies”
“Pandangan
(argument) utama dari teori elit bahwa kebijakan publik bukanlah ditentukan
oleh masyarakat atau massa, tetapi ia lebih ditentukan oleh elit politik yang
sedang memerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah
yang ada dibawahnya”. Pendekatan ini berasumsi bahwa kebijakan publik dapat
dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan dari elit yang memerintah. Pendekatan
elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan-kebijakan
publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik,
hanya sekelompok kecil orang yang memerintah masyarakat umum; para elit
politiklah yang mempengaruhi masyarakat umum, dan massa yang mempengaruhi elit.
c. Pendekatan
Kelembagaan (institusionalism)
Hubungan antara kebijakan publik dengan
lembaga-lembaga pemerintah dilihat sebagai suatu hubungan yang sangat erat. Suatu
kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan
dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan. menurut Anderson (1984) pendekatan
institusionalisme bukan merupakan pendekatan yang sempit atau bersifat
deskriptif, karena seorang lmuwan bisa saja menanyakan kembali
hubungan-hubungan yang terjadi antara aturan-aturan lembaga-lembaga
(pemerintah) dengan substansi kebijakan publik. Selain itu seorang ilmuwan juga
dapat menyelidiki hubungan-hubungan ini dengan suatu bentuk yang sistematik dan
komparatif.
d. Pendekatan
Rasionalitas
Menurut Parson (2005), pendekatan rasionalitas dalam
proses pembuatan kebijakan publik bertumpu pada dua hal, yaitu rasionalitas
ekonomis, dan rasionalitas birokratis. Pendekatan rasionalitas dalam pembuatan
kebijakan publik banyak dielaborasi oleh beberapa pakar kebijakan publik.
Herbet Simon dalam teorinya Bounded
Rationality, bahwa pertimbangan rasional sangat dibutuhkan dalam pembuatan
kebijakan public. Meskipun demikian, pada saat tertentu rasionalitas akan
menemui ambang batasnya. Hal ini disebabkan kemampuan rasionalitas seseorang
tidak senantiasa mampu menjangkau secara utuh kompleksitas kenyataan sosial
yang ada di tengah-tengah masyarakat. Hal ini menjadi tugas generasi berikut
untuk menyelami lebih dalam penggunaan rasionalitas, sampai menempuh batas
akhir kemampuan rasionalitasnya.
e. Pendekatan
Pilihan Publik
Pendekatan pilihan publik (public choice) merupakan suatu pendekatan dalam pengambilan
kebijakan yang berpijak pada pandangan (pendekatan) kekuasaan. Pendekatan
kekuasaan memberikan indikasi adanya kecenderungan birokrasi menjadi pelayan
bagi dirinya sendiri, bukan menjadi pelayan masyarakat (baca: publik).
Menurut Niskanen (1971), proses pembuatan kebijakan
publik bertumpu pada mekanisme pasar. Para perumus akan kekurangan kekuatan
untuk melakukan transformasi sosial melalui produk kebijakan publik yang
dibuatnya. Dalam pendekatan ini semua produk kebijakan publik dari lembaga
pemerintah harus presisi dengan kehendak publik secara umum (pasar).
f. Pendekatan
Peran Serta Warga Negara
Menurut Winarno, pendekatan peran serta warga negara
dalam proses kebijakan publik berpijak pada pemikiran demokrasi klasik Jhon
Locke dan Jhon Stuart Mill yang menekankan pengaruh yang baik dari warga Negara
dalam perkembangan kebijakan public Melalui keikutsertaannya dalam
masalah-masalah sosial, warga negara akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang
masalah-masalah yang sedang dihadapi masyarakat, mengembangkan rasa tanggung
jawab yang penuh, dan menjangkau perspektif mereka di luar batas-batas
kehidupan pribadi.
Pendekatan peran serta warga negara didasarkan pada
harapan yang tinggi tentang kualitas warga Negara dan keinginan mereka untuk
terlibat dalam kehidupan publik. Pendekatan ini membutuhkan warga negara yang
memiliki struktur-struktur kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan
fungsi-fungsi demokrasi. Setiap warga negara memiliki kebebasan yang cukup
untuk berperan serta dalam masalah-masalah politik (publik), mempunyai sikap
kritis yang sehat dan harga diri yang cukup dan yang lebih penting adalah perasaan
mampu dari warga negara.
g. Pendekatan
Pluralisme
Sebagai suatu pendekatan dalam ilmu poltik, pendekatan
pluralism dikembangkan dengan berpijak pada pendekatan institusionalisme dan
pendekatan behavioralisme. Pendekatan pluralisme menekankan peran partai
sebagai mata rantai yang menghubungkan rakyat dengan pemerintah, dan melahirkan
hubungan yang dinamis di antara keduanya. Keharmonisan hubungan antara rakyat
dan pemerintah terwujud dalam keterlibatan politik dalam jumlah atau dalam efektivitas
yang pada akhirnya akan membawa perubahan yang cukup besar dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Pluralisme menekankan segi yang aktif, pengetahuan
politik yang cukup dan adaptif melalui sarana peran serta umum pada berbagai
tingkatan politik dan dalam keragaman lembaga-lembaga politik.
3. Klasifikasi
Nilai dalam Penetapan Kebijakan
Di dalam proses penetapan kebijakan yang merupakan
tahap penentuan suatu alternatif kebijakan dari bebagai alternatif yang ada,
ada berbagai criteria yang berpengaruh terhadap para penetap kebijakan misalnya
kesetiaan terhadap partai politik, tekanan-tekanan politik dan sosial, kondisi
ekonomi, persyaratan prosedural, komitmen sebelumnya, waktu yang sempit. Ada lima
nilai yang dapat mempengaruhi para penetap kebijakan publik yaitu nilai politik,
nilai organisasi, nilai personal, nilai kebijakan, dan nilai ideology
a. Nilai
politik
Nilai politik berkaitan erat dengan kebudayaan.
Kebudayaan merupakan salah satu sumber utama sistem nilai di dalam suatu
masyarakat. Sistem nilai itulah membentuk sikap mental atau pola pikir manusia
sebagaimana terpantul dalam pola sikap dan tingkah laku sehari-hari dalam
berbagai segi kehidupan politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Hal ini
melatarbelakangi terbentuknya kebudayaan politik, budaya, ekonomi, dll. Jadi
kebudayaan politik merupakan salah satu sumber dari system nilai politik.
Menilai berarti menimbang, yaitu salah satu kegiatan
manusia dalam menghubungkan dengan, dan mengambil keputusan. Keputusan nilai
dapat memutuskan berguna atau tidak berguna, benar atau salah, baik atau buruk
dan sebagainya. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia, yaitu:
jasmani, rasa, karsa, dan kepercayaan. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila
sesuatu itu berguna, indah, baik, dan religius.
menurut James E. Anderson, dalam hal proses penetapan kebijakan
publik, nilai politik dapat diartikan sebagai suatu pola perilaku para pelaku
kebijakan yang sangat dipengaruhi oleh kesetiaan mereka pada kebijakan partai
di mana mereka bernaung, para pembuat kebijakan bisa saja menilai alternatif-alternatif
kebijakan berdasar pada kapentingan partai politik (kesetiaan terhadap partai
politik), keuntungan-keuntungan politis kelompoknya (cliente group). Kebijakan publik dijadikan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan partai politik. Jadi, kebijakan publik merupakan
perwujutan dari akumulasi nilai-nilai politik yang bersumber dari partai
politik pembuat kebijakan itu sendiri.
b. Nilai
Organisasi
Para pembuat kebijakan juga bisa dipengaruhi oleh
nilai-nilai organisasi. Organisasi-organisasi seperti badan-badan administratif
negara menggunakan banyak imbalan (rewards)
dan sangsi (punishment) dalam
usahanya untuk mempengaruhi anggota-anggotanya dalam menerima dan bertindak
atas dasar nilai-nilai organisasi yang telah ditentukan dalam organisasi.
Keputusan-keputusan individu mungkin diarahkan oleh pertimbangan-pertimbangan semacam
keinginan-keinginan untuk mempertahankan eksistensi organisasi, memperbesar dan
memperluas program-program, dan kegiatan organisasi, serta memperluas, juga
mempertahankan kekuasaan organisasinya.
c. Nilai
Personal
Usaha untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan
ekonomi, reputasi atau kedudukan seseorang juga bisa menjadi sebuah kriteria
dalam sebuah penetapan kebijakan. Seorang politisi yang menerima suap untuk
membuat atau menetapkan suatu kebijakan yang menguntungkan pribadi tertentu merupakan
contoh konkrit bagaimana nilai-nilai personal sangat berpengaruh dalam
penetapan kebijakan. Di lain pihak, seorang presiden yang menyatakan bahwa dia
tidak akan menjadi presiden pertama yang menyatakan kalah dalam perang, bisa
saja dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pribadi, seperti keinginan
untuk dicatat dalam sejarah. Hal ini menunjukkan betapa nilai-nilai personal
suatu saat sangat berpengaruh dalam pengambilan kebijakan.
d. Nilai
kebijakan
Para pembuat kebijakan menurut kriteria ini tidak
hanya dipengaruhi oleh perhitungan-perhitungan keuntungan, nilai organisasi,
ataupun nilai personal, namun mereka mungkin bertindak baik atas dasar persepsi
mereka tentang kepentingan masyarakat banyak (publik), atau
kepercayaan-kepercayaan mereka tentang apa yang merupakan kebijakan publik
secara moral adalah benar dan pantas. Seorang anggota lembaga legislatif
mendukung undang-undang tentang hak sipil, mungkin karena ia berpandangan bahwa
secara moral adalah benar, serta kesetaraan merupakan tujuan yang diinginkan
dari sebuah kebijakan publik. Meskipun ia menyadari bahwa dukungan itu
mempunyai resiko politik yang tinggi.
e. Nilai
Ideologi
Ideologi merupakan nilai-nilai kepercayaan yang
berhubungan secara logis yang memberikan gambaran dunia yang disederhanakan,
dan merupakan pedoman bagi rakyat untuk bertindak. Ideologi merupakan sarana
untuk merasionalkan dan melegitimasikan tindakan-tindakan kebijakan yang
dilakukan pemerintah. Di banyak negara-negara berkembang keinginan rakyat untuk
memperoleh otonomi dan perhatian uang mendalam dengan karakteristik yang mereka
miliki, kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah, merupakan faktor penting dalam
penetapan kebijakan. Ideologi negara menurut kriteria ini menjadi acuan utama dalam
menetapkan arah dan tujuan sebuah kebijakan publik.
4. Fungsi
Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah
Menurut Napitupulu, perwakilan politik tidaklah
terpisah dengan badan perwakilan rakyat sebagai suatu badan yang dibangun oleh
para wakil rakyat dengan fungsi merealisasikan kekuasaan rakyat, dalam bentuk
suatu aspek lembaga dan proses pemerintahan. Dalam menunaikan fungsinya, badan perwakilan
rakyat sebagai suatu lembaga tentulah mengalami tekanan dan tuntutan dari semua
pihak yang berkepentingan. Salah satu pihak yang berkepentingan adalah
masyarakat secara umum sebagai pihak yang diwakili, atau pihak yang menyerahkan
kekuasaan, juga yang memberikan tugas untuk mewakili opini, sikap, dan
kepentingannya dalam proses politik dan pemerintahan.
Pihak lain yang berkepentingan adalah eksekutif, dan
badan-badan peradilan. Lembaga-lembaga tersebut menuntut lembaga perwakilan,
menggunakan undang-undang yang
menghasilkannya, sehingga lembaga-lembaga tersebut
mempunyai kewenangan dan mengoperasikan fungsi-fungsinya. Beroperasinya
peranan dan fungsi perwakilan rakyat tidaklah terbatas pada interaksinya dengan
ketiga pihak tersebut. Namun juga ditentukan oleh semua permasalahan yang
berkaitan dengan struktur badan itu sendiri. Dengan kata lain, bekerjanya peran
dan fungsi perwakilan rakyat di satu pihak ditentukan oleh eksistensinya
sebagai suatu lembaga politik, dan di lain pihak ditentukan oleh perwujudannya
sebagai suatu organisasi yang mewadahi proses politik.
Merujuk pada asal-usul katanya, istilah fungsi berasal
dari bahasa inggris yaitu function. Menurut kamus bahasa inggris, arti kata
function adalah jenis tindakan atau kegiatan yang sesuai bagi orang atau
sesuatu, atau tujuan dari sesuatu itu sendiri dibuat. Selanjutnya jika
dikaitkan dengan sejarah hukum tata Negara Indonesia yang berasal dari Belanda,
istilah fungsi tersebut dalam bahasa Belanda disebut functie, dan menurut kamus
istilah hukum, functie berarti fungsi, jabatan, wewenang. Menurut kamus bahasa
Indonesia, fungsi berarti jawatan/pekerjaan yang dilakukan atau kegunaan suatu
hal, dan guna diidentikkan dengan fungsi. Wewenang berarti hak dan kekuasaan
untuk bertindak atau kekuasaan untuk membuat kebijakan, memerintah, dan
melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Tugas dapat disamakan dengan arti
kata task atau mission. Artinya sesuatu yang wajib dilaksanakan. Oleh karena
itu, peran atau peranan, guna atau kegunaan, tidaklah sama dengan wewenang dan
tugas.
Ada dua peran utama Dewan Perwakilan Rakyat. Pertama,
sebagai pembuat undang-undang (law-making institution). Lembaga ini diminta
untuk menulis undang-undang dan membuat kebijakan bagi seluruh bangsa. Dalam
kapasitas ini, semua anggota dewan diharapkan untuk mengesampingkan ambisi
pribadi mereka, dan mungkin bahkan keprihatinan mereka terhadap konstituennya.
Di lain pihak, badan legislatif adalah sebuah badan perwakilan (a representative assembly), yang dipilih
untuk menghubungkan konstituen dengan pemerintahan pusat. Sejak pertama sekali
badan legislatif dibentuk, dua fungsi ini telah memaksa anggota legislatif
untuk menyeimbangkan persoalan nasional, dengan perhatian pribadi ke pada
konstituen. Menurut Hedlund, dan Anderson, ada delapan peran dan fungsi
legislatif, antara lain :
a.
Policy
Responsiveness
Badan legislatif dinilai melalui out put khusus proses
perundangan-sifat keputusan kebijakan. Karena alokasi nilai dan sumber daya
yang diakibatkan oleh keputusan kebijakan adalah tidak seimbang, suatu
keputusan mungkin menguntungkan beberapa sektor masyarakat dengan mengorbankan
sektor lain. Jadi badan legislatif harus menghadapi prospek beberapa kelompok
masyarakat akan tidak puas. Namun demikian anggota legislatif sering tanggap
terhadap kebutuhan dan tuntutan yang diberikan kepada masyarakat.
b.
Formal
Decision Making
Dalam proses pembuatan kebijakan, badan legislatif
membuat kebijakan mengenai pesoalan-persoalan kebijakan publik, dan
keputusan-keputusan ini secara khusus mengambil bentuk undang-undang yang
disahkan atau ditolak, uang yang disediakan, ketetapan-ketetapan yang diterima.
Pembuatan kebijakan bentuk ini bergantung pada pemberian kekuasaan dalam
konstitusi atau perjanjian. Syarat seperti ini memberikan badan legislatif
legitimasi yang diperlukan bagi peranan mereka dalam pembuatan kebijakan
publik. Tidak dapat disangkal anggota legislatif mungkin tidak memprakarsai
gagasan untuk semua legislasi dan boleh jadi bahkan tidak bertanggungjawab atas
draft gagasan dalam bentuk rancangan undang-undang; bagaimanapun juga tindakan
legislatif penting karena badan legislatif diberi kewenangan oleh konstitusi
untuk membuat kebijakan-kebijakan yang mengikat masyarakat. Secara khusus badan
legislatif menelaah usulan-usulan tindakan dan mengubahnya sesuai dengan
penilaian anggota legislatif. Badan legislatif juga memberikan suara
persetujuan akhir pada semua undang-undang, yang memberikan mereka legitimasi
menetapkan kebijakan publik yang resmi.
c.
Pengawasan
Administratif
Melekat pada sistem pemerintahan adalah sistem
pembagian kekuasaan (the principle of devided power). Melalui pembagian
kekuasaan lembaga tinggi, dan sistem checks and balances, setiap lembaga dan
dinas disediakan dengan kekuasaan politik, tetapi tidak eksekutif. Suatu aspek
penting dari sistem ini adalah pengawasan badan legislatif terhadap badan eksekutif.
Pengawasan oleh badan legislatif mengacu pada tanggung jawab badan legislatif
untuk meninjau kembali tindakan-tindakan yang diambil oleh badan eksekutif dan
mengajukan ususl-usul untuk melawan atau meneguhkan keputusan-keputusannya.
d.
Wakil
Konstituen dalam Pembuatan Kebijakan
Dalam setiap sistem politik selalu ada derajat
perwujudan keterwakilan gagasan. Karena basis geografis untuk memilih
wakil-wakil, fungsi ini sering meliputi penyampaian pandangan lokal dalam
pembuatan kebijakan. Keterlibatan ini dapat bervariasi dari tanda-tanda
simbolis umum sebagaimana seseorang yang menyatakan dia mewakili pandangan
konstituennya sehingga pada tindakan yang sangat khusus yang dimaksudkan untuk
mengemukakan kepentingan keuangan konstituen.
e.
Hubungan
Konstituen
Di samping mencerminkan kepentingan konstituennya
dalam pembuatan kebijakan, sistem politik telah mengembangkan harapan bahwa
anggota legislative akan berfungsi sebagai utusan pribadi (personal envoys)
bagi konstituennya. Biasanya disebut sebagai the errant boy function, kegiatan ini menyangkut beberapa upaya
para wakil untuk menengahi dengan cara yang berbeda dengan dinas-dinas atas
nama konstituen. Pada satu sisi, ini bisa saja termasuk permohonan sederhana
untuk memberikan informasi ke pada konstituen; sementara di sisi lain, mungkin
saja suatu usaha pribadi yang ekstensif untuk menangani masalah yang kompleks.
f.
Pendidikan
dan Advokasi Konstituen
Beragam upaya legislatif bisa juga diarahkan sebagai
pendidikan konstituen dan masyarakat umum. Melalui dengar pendapat legislatif,
laporan resmi, pidato umum, perdebatan-perdebatan badan legislatif dapat
mengangkat the silence level dari suatu persoalan dan memberikan informasi
tambahan demi kemajuan masyarakat.
g.
Betuk
Solidaritas (Solidarity Building)
Badan legislatif juga menyediakan alat dengan apa
warga negara akan menyampaikan gagasan, preferensi kebijakan, dan opini
terhadap pemerintah. Lewat kontak individu dengan anggota legislatif, penampilan
pada dengar pendapat komisi, dan keterlibatan dalam kegiatan kelompok,
individu-individu dapat mengartikulasikan pandangan-pandangan mereka terhadap
anggota legislatif. Ketika mereka terlibat dalam kegiatan seperti itu, warga
negara akan merasakan bahwa mereka adalah bagian integral dari sistem politik,
dan bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan
publik. Jika ketersediaan alat-alat ini untuk mendekati pemerintah mengurangi
tensi-tensi yang berhubungan dengan perilaku pembentukan kebijakan dan membantu
sistem politik, badan legislatif boleh jadi melakukan sistem safety value
function. Dengan mengurangi pembagian di antara masyarakat dan menghasilkan
sikap-sikap positif bagi sistem politik, badan legislatif akan membangun
solidaritas. Solidaritas dukungan bagi suatu institusi politik biasanya dipandang
sebagai suatu atribut konstituensi; bagaimanapun juga suatu tindakan-tindakan
yang dilakukan seperti badan legislatif dapat mempengaruhi tingkat dukungan
masyarakat.
h.
Pengujian
Permasalahan (Problem Investigation)
Suatu komponen dalam pembuatan kebijakan adalah
investigasi masalah dan pemecahan potensial sebelum memulai suatu kebijakan.
Sementara derajat ketelitian yang menyertai suatu investigasi dapat sangat beragam,
beberapa upaya biasanya digunakan untuk menguji permasalahan tersebut. Dalam
badan legislatif, dengar pendapat diadakan pada banyak proses legislasi dan
kesaksian ahli diterima. Selanjutnya analisis staf dan dewan biasanya
disediakan. Dalam beberapa setting badan legislatif juga mengembangkan
kapasitas untuk memulai investigasi masalah-masalah jangka panjang dan
kesulitan masa mendatang. Mengembangkan kapasitas ini memperkuat peranan
legislatif dalam pembuatan kebijakan.
5. Orientasi
Perilaku Anggota DPR/D
Menurut napitupulu, bagaimana atau apa yang
mempengaruhi seorang anggota dewan dalam mengambil kebijakan adalah sangat
beragam, dan juga tergantung terhadap persoalan-persoalan, serta kebijakan yang
ada. Tidak ada faktor tunggal yang mempengaruhi seorang anggota dewan
memberikan suara setiap saat. Dalam persoalan-persoalan rumit yang berpengaruh
sedikit terhadap daerah pemilihannya, kebanyakan anggota dewan cenderung
percaya pada pendirian mereka sendiri dan pada konteks kolega dan teman. Menurut
Burns ada enam pola orientasi perilaku anggota dewan dalam memberikan suara
saat penetapan kebijakan Pertama, pengaruh kebijakan anggota,
dan pendirian filosofis. Orientasi ideologis atau isu merupakan penentu terbaik
bagaimana para anggota dewan akan memberikan suara dalam beragam
masalah/persoalan.
Kedua, pengaruh pemilih/konstituen. Pengaruh utama pada berasal dari persepsi
mereka tentang bagaimana yang dirasakan oleh konstituen mereka. Tekanan partai,
juga badan eksekutif juga berperan, tetapi ketika semua sudah dinyatakan/dilaksanakan.
Masa depan anggota dewan bergantung pada bagaimana perasaan mayoritas pemilih
terhadap kinerja mereka. Jarang anggota dewan secara konsisten dan sengaja
memberikan suara yang bertentangan dengan kehendak masyarakat dari daerah
pemilihannya.
Ketiga, pengaruh kolega. Keputusan voting juga dipengaruhi
oleh nasehat seseorang anggota dewan terhadap anggota dewan lainnya.
Keterbatasan waktu dan keperluan yang sering untuk membuat keputusan dengan
waktu yang relative singkat memaksa anggota legislatif untuk bergantung pada
orang lain. Kebanyakan anggota dewan membangun persahabatan dengan orang-orang
yang sependapat dengan mereka. Mereka saling bertanya apa yang mereka pikirkan tentang
penundaan legislasi. Secara khusus, mereka memperhatikan anggota dewan yang
terpandang dari kerja komisi perundang-undangan.
Keempat, pengaruh staf dewan. Staf dewan adalah birokrasi
dalam dewan. Tanpa bantuan mereka, para anggota dewan tidak berfungsi dalam
berurusan dengan badan eksekutif, dan mereka juga sangat bergantung pada
informasi yang diberikan kepada presiden/kepala daerah dan pelobi.
Kelima, pengaruh partai politik. Perdahabatan cenderung
berkembang dalam partai politik. Di dalam partai politik terdapat banyak
kesepakatan yang adil antar sesama kolega. Pada beberapa persoalan tekanan
untuk sesuai garis/haluan partai ialah segera dan langsung. Kadang-kadang ada
tekanan untuk mendukung partai bahkan ketika seseorang tidak mendukung partai.
Oleh karena itu partai menetapkan beberapa mekanisme yang memungkinkan anggota
dewan untuk tetap pada kebijakan/disiplin partai.
Keenam, pengaruh presiden dan lembaga lain. Banyak kekuatan
regional, lokal, ikatan persahabatan, dapat mengesampingkan pengaruh partai.
Anggota dewan sering kadang-kadang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok informal/delegasi
lokal, kelompok ideologis, kaukus etnis, kelompok regional, dan bahkan kelompok
kolega dengan siapa mereka dipilih. Mereka juga dipengaruhi oleh kelompok
kepentingan yang lebih penting dan pelobi, khususnya mereka yang membantu dana
sebelum, atau sesudah kampanye.
Selain keenam dimensi yang dikemukakan
oleh Burn, Lowi dan Ginsberg menambahkan satu dimensi yang mempengaruhi
pengaruh legislatif, yaitu system komisi. Mereka berpendapat bahwa sistem
komisi merupakan the core of legislaive body. Sistem komisi merupakan struktur
organisasi kedua dalam badan legislatif, setelah partai. Sistem komisi merupakan
suatu pembagian kerja, bukan hirearki kekuasaan. Ketua komisi dan sub komisi
mempunyai sejumlah kekuasaan penting, tetapi seperti ketua partai, kapasitas
mereka untuk mendisiplinkan anggota komisi terbatas. Pada akhirnya, anggota
komisi digaji, dan dipecat oleh electote, bukan kepemimpinan. Ketua komisi
harus menyesuaikan diri, bahkan terhadap anggota-anggota yang
pandangan-pandangannya tidak disenangi. Sedangkan
menurut Romli, ada tiga kemungkinan pola orientasi yang dilakukan anggota
dewan untuk memusatkan
perhatian terhadap terwakil/konstituen
yaitu;
Pertama, persahabatan terhadap kelompok yang terbagi atas
tradisi, kedaerahan, ras, bahasa, agama, bahasa, mata pencaharian, dan sebagainya.
Berdasarkan ini, para anggota dewan dapat memilih satu atau beberapa kelompok
itu sebagai patokan dalam mengambil/menetapkan kebijakan. Dengan kata lain, anggota
dewan dapat memusatkan perhatian ke pada opini, aspirasi, kepentingan, atau
tuntutan dari satu atau beberapa kelompok yang dianggapnya tepat, atau sesuai
dengan situasi yang ada.
Kedua, suara partai. Dengan memusatkan perhatian ke pada
partai, si wakil memperoleh keuntungan ganda, yakni dari partai, juga dari
suara rakyat yang mendukung atau bersimpati ke pada partainya. , yaitu;
Pertama, persahabatan terhadap kelompok yang tebagi atas tradisi, kedaerahan,
ras, bahasa, agama, bahasa, mata pencaharian, dan sebagainya. Berdasarkan ini,
para anggota dewan dapat memilih satu atau beberapa kelompok itu sebagai
patokan dalam mengambil/menetapkan kebijakan. Dengan kata lain, anggota dewan
dapat memusatkan perhatian ke pada opini, aspirasi, kepentingan, atau tuntutan
dari satu atau beberapa kelompok yang dianggapnya tepat, atau sesuai dengan
situasi yang ada. Ketiga, wilayah atau daerah yang diwakili. Dalam hal ini
anggota dewan memperhatikan konstituennya berdasarkan wilayah, sehingga
perhatiannya dapat diberikan ke pada bangsa, provinsi, kabupaten, dan tingkat
pemerintahan lainnya.
Demikianlah uraian singkat
mengenai nilai-nilai tertentu dalam substansi kebijakan publik yang ditetapkan
oleh anggota dewan legeslatif. Semoga dapat memberikan manfaat bagi pembaca…
Wassalam….. Sense of integrity, sense of responsibility
Daftar Rujukan
Budi Winarno, 2002,
Teori dan Proses Kebijakan Publik, Jakarta: Media Presindo.
Charles
Lindblom, 1986, Proses Penetapan
Kebijakan Publik, Jakarta: Airlangga.
David E. Apter, 1988,
Pengantar Analisa Kebijakan Politik, Jakarta: CV. Rajawali Press.
Frans Bona
Sihombing, 1984, Demokrasi Pancasila dalam Nilai-nilai Politik, Jakarta:
Erlangga.
James A.
Anderson, 1984, Public Policy-Making, New York: Holt Rine Hart and Winstone.
Lili Romli, 2002,
Dinamika Lembaga Perwakilan Lokal, Jakarta: P2P LIPI.
Louis W. King, 1986,
An Introduction to Public Policy, Engelwood Cliffs: Prentice Hall.
Mac Rae, 2003, The
Social Function of Social Science, dalam William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan
Publik, Yokyakarta: Gajah Mada University Press.
Paimin Napitupulu,
2005, Peran dan Pertanggungjawaban DPR, Bandung: PT. Alumni.
Ronald Hedlung
dan Keith E. Hamm, 1978, Reconceptualizing legislative Accountibility, Urban Society
W. A. Niskanen, 1971,
Bureaucracy and Representatives Government, Cichago: Aldin-Atherton.
Wayne Parson, 2005, Public Policy, Pengantar
Teori dan Praktek Analisis Kebijakan, Jakarta