(logic of discovery) Bentang Saketi
“Laju
turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu
laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain
mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon!” (Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti
terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar.
Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual!
Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa zaman sudah berganti).
Memang sungguh berat merubah mindset dan
pengetahuan masyarakat yang sudah mendarah daging tentang sesuatu. Demikian
kuatnya sehingga hal-hal yang baru akan dianggapnya sebagai sebuah penyimpangan
yang mungkin akan menghancurkan kemapanan. Tetapi kita harus betul-betul
yakin dalam lingkungan masyarakat masih banyak orang-orang yang berhati bersih,
ihlas mendengarkan dan menyimak dengan cermat sebelum mereka memutuskan sesuatu
itu benar, kurang tepat atau malah salah besar. Salah satu soal
yang saat menggoda menyampaikannya adalah 'sejarah umat Islam di Indonesia' dan
'umat Islam dalam sejarah'.
Realitas dan fakta penulisan sejarah
umat Islam yang ada sekarang, menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah dan
karenanya pastilah telah lama membentuk mindset
pada sebagian masyarakat Indonesia. Yang kedua berkaitan dengan fakta yang
benar benar faktuil tentang peran umat Islam selama ratusan tahun dalam
kehidupan masyarakat yang sebagian besar tidak tercatat dalam buku-buku
sejarah, atau sengaja dikaburkan. Penulisan sejarah memang sarat dengan
kepentingan politik.
Bagaimana sejarah itu ditulis bisa jadi
alat melanggengkan kekuasaan seseorang atau suatu rezim. Contohnya adalah apa yang
dilakukan Eugene Dubois. Setelah melakukan penelitian di pulau Jawa, khususnya
di Mojokerto dan Kediri, ia berpendapat bahwa manusia yang pernah hidup di
Indonesia adalah pithecantrophus erectus alias manusia kera yang berdiri tegak.
Manusia jenis ini juga ditemukan di wilayah Afrika dan Asia lainnya. Sementara
penelitian di Eropa menemukan jenis lain, yaitu homo sapiens bascilus atau
manusia yang sudah bisa berfikir. Sudah bisa diduga bagaimana kesimpulannya :
manusia eropa atau berkulit putih lebih pintar dan lebih maju dibandingkan
orang Asia atau Afrika. Wajar saja kalau orang Eropa menjadi kaum penjajah, dan
orang Asia dan Afrika menjadi kaum terjajah. Karena misi utama penjajahan
adalah memperadabkan manusia pribumi. Itulah contoh sikap hipokrit orang Eropa.
Mengatasnamakan kajian ilmiah tetapi maksud utamanya adalah membenarkan penjajahan.
Dalam kaitan dengan bagimana umat Islam
dalam sejarah, sejak lama penjajah melakukan pendistorsian atas sejarah. Mereka
ingin menggambarkan betapa bangsa Indonesia menjadi maju tatkala diperintah
raja-raja Hindu dan Budha. Datangnya Islam tidaklah menghapuskan kehinduan
mereka. Bahkan dalam kondisi zaman sekarang pun kehinduan itu tetap eksis.
Contohnya adalah penulisan sejarah Prabu Siliwangi, raja orang Sunda yang
dianggap punya kesaktian luar biasa, dan demi mempertahankan keyakinan
hindunya, ia berubah menjadi harimau, sering muncul di hutan larangan yang
bernama Hutan Sarongge di gunung Salak.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya,
Menemukan Sejarah, bersumberkan buku Carita Purwaka Caruban Nagari
yang ditulis Pangeran Arya Cirebon (1720), Prabu Siliwangi ternyata masuk
Islam. Ia menikah dengan seorang wanita bernama Nyai Subang Larang,
seorang santri putri Syekh Hasanudin yang dikenal sebagai Syekh Qura. Nah dari
pernikahannya ini lahirlah tiga orang anak : Walang Sungsang, Nyai Rara
Santang, dan Raja Sangara. Nyai Rara Santang dinikahi Maulana Sultan Mahmud
atau Syarif Abdullah, seorang Arab turunan Bani Ismail, kemudian berputera yang
diberi nama Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan
Gunung Jati. Jadi salah seorang wali, itu ternyata cucu Prabu Siliwangi. Dengan
demikian tidaklah benar cerita yang menyatakan Prabu Siliwangi sebagai seorang
Hindu, bahkan rela meninggalkan istananya hanya untuk mempertahankan
kehinduannya. Cerita ini sesungguhnya berasal dari penjajah Belanda. Bertujuan
mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa Indonesia karena keengganan
menerima kenyataan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan cara-cara damai, diantaranya
melalui pernikahan campuran, hidup penuh sikap toleran bersama-sama umat Hindu serta
berpengaruh besar dalam pembentukan tatanan sosial dan kultural bangsa ini.
Sejarah ini dimulai dengan cerita Syeikh Hasanuddin Sekitar tahun 1416 M, yang menyebarkan ajaran Islam
di Kota Pelabuhan Karawang yang lebih tepatnya di Kali Citarum yang waktu itu
di Kali tersebut digunakan sebagai pintu keluar masuk para pedagang ke negeri
Sunda-Galuh. Syeikh Hasanudin singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang
dimana kegiatan pemerintahan ada dalam kewenangan jabatan Dalem.
Beliau dan para rombongan sangat menjunjung tinggi
peraturan kota Pelabuhan sehingga aparat setempat pun sama-sama menghormati
keberadaan mereka. Atas dasar saling menghargai dan menghormati ini, aparat
setempat memberikan izin untuk mendirikan dibangunnya sebuah Mushola[1][1] pada sekitar tahun 1418. Mushola yang mereka bangun bukan hanya
dijadikan sebagai sarana untuk ibadah tapi juga sekaligus sebagai tempat
tinggal mereka. Syeikh Hasanuddin tak pernah berhenti untuk menyampaikan
dakwahnya di Mushola yang dibangunnya itu. Karena uraian dan cara penyampaian
dakwahnya mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat di Pelabuhan Karawang,
banyak sekali yang tertarik dengan ajaran Islam. Ahli Qira’at ini sering
mengumandangkan suara Qorinya yang khas dan merdu. Sama halnya yang dilakukan
oleh para santrinya yaitu Nyai Subanglarang, Syeikh Abdul Rahman, Syeikh
Maulana Madzkur dan juga Syeikh Abdullah Dargom alias Syeikh Maghribi yang
merupakan keturunan dari Sayyidina Utsman bin ‘Affan r.a. Dengan pengaruh
kemerduan suara alunan ayat suci al-Qur’an yang dilantunkan Syeikh Hasanuddin,
setiap harinya banyak masyarakat Karawang yang menyatakan diri untuk memeluk
agama Islam. Masyarakat Karawang pun menjuluki Syeikh Hasanuddin ini dengan
sebutan Syeikh Quro.
Sejak
berdirinya pesantren Pondok Quro, banyak masyarakat dari pesisir utara yang
tertarik dan mengikuti ajaran agama baru (Islam) dan meninggalkan agama yang
lama (Sunda Wiwitan). Banyak pula yang sengaja datang ke tempat itu untuk
menimba ilmu agama Islam. Berita tentang banyaknya masyarakat yang memeluk
agama Islam, rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Wastu Kencana yang
sebelumnya pernah melarang Syeikh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala di
Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Prabu Wastu Kencana mengirim utusan yang dipimpin
oleh raja muda Surantaka yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup dan
menghentikan kegiatan Syeikh Quro.
Dari
peristiwa inilah bermula yang nantinya dapat merubah keyakinan Raden Pamanah
Rasa sekaligus akan mencatat sejarah baru perubahan besar Kerajaan Pajajaran
pada masa kepemimpinannya. Kejadian ini bukan hanya pemicu timbulnya arus
gelombang ajaran Islam, tapi juga sebagai mata rantai hilangnya Kerajaan
Pajajaran hingga kini. Hal ini bukan dikarenakan adanya campur tangan ghaib
atau hanya kebetulan semata, tapi semua itu telah di-skenario-kan oleh Sang
Maha Sutradara Allah SWT dan menjadikannya sebagai asrar[2][2] yang suatu saat nanti
pasti akan terungkap.
Tatkala raja muda Surantaka ini tiba di tempat tujuan,
rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat al-Qur’an yang
dilantunkan oleh Nyai Subanglarang. Raden Pamanah Rasa itu pun mengurungkan
niatnya untuk menutup Pesantren Syeikh Quro. Saking terpesonanya kepada Nyai
Subanglarang, tanpa ragu-ragu lagi Raden Pamanah Rasa menyatakan isi hatinya
untuk meminang Nyai Subanglarang yang selain cantik, cerdas dan juga bertutur
kata yang baik.[3][3].
Raden Pamanah Rasa segera meminang Nyai Subanglarang.
Tetapi, Nyai Subanglarang akan menerima pinangan dari Raden Pamanah Rasa asal
dengan mengajukan tiga permintaan sebagai mas kawinnya. Permintaan pertama
ialah beliau menginginkan bentang saketi atau ada juga yang menyebutkan Lintang
Kerti Jejer Seratus yang tak lain adalah tasbih yang mengandung makna
secara simbolis bahwa beliau akan tetap konsisten memeluk agama Islam dan
melakukan wirid sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai seorang muslimah yang taat
akan tetap melaksanakan syariat Islam dengan sungguh-sungguh. Permohonan kesatu
Nyai Subanglarang ini disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Kemudian, atas
petunjuk Syeikh Quro, raja muda Surantaka ini pun segera pergi ke Mekkah untuk
mencari tasbih.[4][4]
Di tanah suci Mekkah, Raden Pamanah Rasa disambut oleh Syeikh
Maulana Ja’far Shiddiq. Beliau merasa kaget yang bercampur rasa heran ketika
Syeikh itu telah mengetahui akan kedatangan beliau sebelum dirinya tiba disana.
Selain itu, beliau pun terkejut saat nama dan keturunannya diketahui oleh
Syeikh Ja’far Shiddiq meski sebelumnya tak pernah mengenali Raden Pamanah Rasa.
Syeikh Ja’far Shiddiq bersedia akan membantu mencarikan bentang
saketi dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat. Karena
kecintaannya terhadap Nyai Subanglarang, beliau pun akhirnya mengucapkan Dua
Kalimah Syahadat yang tentunya bermakna pengakuan kepada Allah SWT sebagai
satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.
Semenjak itulah, Raden Pamanah Rasa memeluk agama Islam dan diberikan bentang
saketi oleh Syeikh Ja’far Shiddiq sebagai mas kawin untuk menikah dengan
Nyai Subanglarang.
Namun perlu diketahui, bahwa meskipun Raden Pamanah Rasa
telah mengucapkan Dua Kalimah Syahadat saat di Mekkah itu, ternyata Raden
Pamanah Rasa setelah dinobatkan menjadi penguasa kerajaan Sunda-Galuh yang
nantinya dirubah menjadi kerajaan Pajajaran olehnya dan diberikan gelar Sri
Baduga Maharaja yang dijuluki Prabu Siliwangi ini, tetap menjadikan agama resmi
kerajaan Pajajaran yang dianut saat itu adalah Sunda Wiwitan. Hal ini
disebabkan karena beliau ingin mempertahankan ajaran-ajaran dan tradisi dari
leluhur-leluhurnya.
Ajaran Sunda Wiwitan merupakan ajaran warisan dari
leluhur sunda yang dijunjung tinggi dan menitikberatkan pada kesejahteraan.
Agama Sunda Wiwitan tidak mensyaratkan untuk membangun tempat peribadatan
khusus. Oleh karena itu, maka sisa-sisa peninggalan yang berupa Pura ataupun
Candi hampir tidak diketemukan di Jawa Barat tidak seperti di Jawa Tengah.[5][5].
Permintaan
Nyai Subanglarang yang kedua adalah kelak jika mempunyai keturunan, maka
anak-anaknya harus memeluk agama Islam dan tidak memeluk agama Sunda Wiwitan.
Jika anaknya laki-laki harus jadi muslim, dan jika anaknya perempuan harus
menjadi muslimah. Raden Pamanah Rasa pun mengabulkan permohonan yang kedua ini
dan menepati janjinya tersebut tatkala anak-anaknya telah lahir.
Dari pernikahan dengan Nyai Subanglarang ini, Raden
Pamanah Rasa dikaruniai tiga orang anak yaitu Walangsungsang yang lahir pada
tahun 1423 M. Kedua adalah Rarasantang yang lahir tahun 1426 M, sedangkan
anaknya yang ketiga adalah Raja Sanggara yang lahir pada tahun 1428 M.
Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dan Nyai Ratu Subanglarang memang telah
membawa hikmah yang sangat besar dan Syeikh Quro memegang peranan penting dalam
masuknya pengaruh ajaran Islam ke dalam kerajaan Pajajaran. Inilah kehendak
Allah SWT yang tidak dapat dihalang-halang meski kerajaan Pajajaran merupakan
kerajaan besar yang menjunjung tinggi ajaran leluhurnya, Sunda Wiwitan.
Para putra-putri yang dikandung oleh Nyai Subanglarang
yang muslimah itu, memancarkan sinar iman dan Islam bagi ummat di Negeri
Pajajaran. Perbedaan yang mencolok antara seorang Ibu Subanglarang dengan
istri-istri Prabu Siliwangi yang lainnya adalah keunggulan dalam hal mendidik
anak-anaknya. Beliau mencerminkan sosok ibu yang sangat ideal dan dikenang
hingga kini oleh sebagian masyarakat. Ibu Subanglarang lah yang biasa disebut
dengan nama Ibu Ratu, bukan Nyai Roro Kidul yang telah diyakini selama ini oleh
sebagian masyarakat.
Melihat kondisi Pakuan Pajajaran yang pada waktu itu
masih menganut Sunda Wiwitan dan sebagai
agama resmi kerajaan, Nyai Subanglarang merasa tidak mungkin bisa
mengajarkan Islam kepada putra-putrinya sendirian. Oleh karena itu, ia mengirim
putra pertamanya yang bernama Walangsungsang berguru kepada seorang Ulama
Thoriqoh, Syeikh Nur Kahfi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Nur
Jati. Beliau adalah seorang mubaligh asal Baghdad yang memilih bermukim di
pelabuhan Muara Jati dan mendirikan perguruan Islam Gunung Jati Cirebon.
Setelah Walangsungsang melewati usia remaja bersama adik
perempuannya yaitu Nyimas Rarasantang, mereka berdua diizinkan untuk
meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran dan menimba ilmu di perguruan Islam Gunung
Jati Cirebon. Sedangkan anak ketiganya, Raja Sanggara menuntut ilmu agama Islam
dan mengembara hingga ke Timur Tengah.
Kepergian dan tujuan anak-anaknya ini jelas
telah mendapatkan restu dari Prabu Siliwangi. Tidak mungkin jika tanpa izin
dari beliau yang sebagai ayahandanya mereka. Pemberian izin dan restu kepada
anak-anaknya ini merupakan bentuk penepatan janjinya kepada Nyai Subanglarang
ketika beliau hendak meminangnya kala itu yang meminta anak-anak Nyai
Subanglarang tidak memeluk agama Sunda Wiwitan. Prabu Siliwangi merupakan sosok
tipikal pemimpin yang selalu menepati janji-janjinya kepada siapapun terlebih
kepada istrinya meskipun keinginannya sudah tercapai.
Selanjutnya, permintaan Nyai Subanglarang yang ketiga
adalah menginginkan keturunannya kelak harus menjadi seorang raja. Permintaan
yang terakhir ini pun dikabulkan oleh Prabu Siliwangi demi kesungguhan cintanya
terhadap Nyai Subanglarang yang cantik dan cerdas itu. Prabu Anom
Walangsungsang yang merupakan anak pertama mereka menjadi bukti atas realisasi
janji Prabu Siliwangi terhadap permintaan Nyai Subanglarang. Sejarah mencatat
bahwa Prabu Anom Walangsungsang merupakan pendiri sekaligus sebagai pemimpin
Nagari Caruban Larang atas restu dari ayahandanya dan memberikannya gelar Sri
Mangana.
Nagari Caruban Larang dahulunya merupakan sebuah
pedukuhan yang daerahnya bernama Tegal Alang-alang. Keberhasilan pembangunan
yang dilakukan Prabu Anom Walangsungsang menunjukan hasil yang gemilang atas
dukungan dan petunjuk dari gurunya, Syeikh Nur Jati yang merupakan peletak
dasar Islam di Nagari Caruban Larang dan sangat berjasa dalam penyebaran Islam
disana. Semakin maju hingga setiap hari banyak orang yang berdatangan untuk
mempelajari Islam dan memilih menetap di Nagari Caruban Larang.
Dalam waktu singkat Nagari Caruban Larang telah terkenal
hampir ke seluruh Tanah Jawa. Prabu Anom Walangsungsang yang dijuluki Pangeran
Cakrabuana ini telah cukup berhasil dalam menyebarkan agama Islam dan membangun
pemerintahannya dengan massive. Hal tentang semakin meluasnya penyebaran
agama Islam di wilayah kerajaan Pajajaran tersebut telah terdengar oleh Prabu
Siliwangi. Meskipun ajaran Islam telah masuk dan mempengaruhi sebagian
masyarakat Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sama sekali tidak pernah
melarang kegiatan penyebaran agama Islam. Beliau malah memberi keleluasaan
kepada masyarakatnya untuk memilih agama menurut keyakinan mereka.[6][6] Hal ini disebabkan bukan hanya Prabu Siliwangi memiliki hati yang
tulus dan telah ber-Syahadat, tapi juga karena Nyai Subanglarang yang sebagai
istri keduanya serta anak-anaknya pun memeluk agama Islam.
Meskipun demikian, Nagari Caruban Larang pada masa
kepemimpinan Pangeran Cakrabuana masih belum menjadi negeri yang mandiri dan
masih berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Hal ini dikarenakan pada
waktu itu, Prabu Siliwangi memberikan gelar Sri Mangana kepada Pangeran
Cakrabuana bukan sebagai tanda pengakuan kedaulatan, melainkan hanya sebagai
raja daerah yang tetap dalam posisi bawahan Pakuan Pajajaran.
Namun, setelah peralihan kekuasaan Nagari Caruban Larang
dari Pangeran Cakrabuana kepada Syarif Hidayatullah dan mendirikan Kesultanan
Pakungwati, Cirebon barulah menjadi Kesultanan yang mempunyai kedaulatan.
Syarif Hidayatullah ini merupakan anak dari Nyimas Rarasantang adiknya Pangeran
Cakrabuana. Beliau dinobatkan menjadi Sultan Cirebon atau Susuhunan Jati
setelah ia menikahi anak dari Pangeran Cakrabuana, Nyimas Pakungwati yang masih
sama-sama merupakan cucu Prabu Siliwangi.
Dari keturunan Prabu Siliwangi dari istrinya Subanglarang
ini telah banyak melahirkan para ulama-ulama besar agama Islam di Jawa Barat
yang diantaranya menjadi salah satu dari Wali Songo yakni yang dikenal dengan
sebutan Sunan Gunung Djati yang tak lain adalah Syarif Hidayatullah. Mereka
semua keturunan dari Nyai Subanglarang dan telah mengukir catatan sejarah serta
dikenang sebagai para pejuang dan penyebar agama Islam di Tatar Sunda atau
wilayah Kerajaan Pajajaran. Karena, memang sejatinya sejarah Pajajaran itu
begitu erat kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia, khususnya
di Jawa Barat.
Bahasan Terakhir
Ketika
Prabu Siliwangi hendak menikahi Nyai Subanglarang bahwa secara logika dan
menurut sisi hukum Syari’at Islam bukan berdasarkan hasil terawangan ataupun
penelusuran batin yang salah kaprah, jika seorang non muslim hendak menikahi
wanita atau pria yang beragama Islam maka ia yang non muslim apapun agamanya
terlebih dahulu harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat sebelum akad
pernikahannya dilangsungkan. Di dalam ajaran agama Islam, tidak ada seorang
ulama pun yang membolehkan wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim,
bahkan ijma’ para ulama menyatakan haramnya wanita muslimah menikah dengan
laki-laki non muslim
Kondisi tersebut sama persis kedudukannya saat peristiwa
dimana seorang non muslim dalam hal ini adalah Prabu Siliwangi yang akan
menikahi seorang muslimah, Nyai Subanglarang. Maka hukum Islam diatas sangat
berlaku baginya meski beliau merupakan seorang raja harus tunduk pada syari’at
Islam. Apalagi yang menikahkan mereka adalah seorang ulama besar yakni Syeikh
Quro. Sangat tidak mungkin jika hukum syari’at Islam tidak diketahuinya atau
tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Inilah fakta yang mempunyai dasar, bukan
hanya menurut “konon katanya”.
Dalam
sumber sejarah Carita Parahyangan, pemerintahan pada masa Prabu
Siliwangi dilukiskan sebagai berikut:
“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh
ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan
kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa”. (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan
musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara,
barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak
yang serakah akan ajaran agama).
“Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya
engke jagana jembar senang mugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran. Lain
Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku
obahna zaman; Pilih: ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, heunteu
pantes jadi raja amun somah sakabehna lapar bae jeung balangsak.” (Kalian
boleh memilih untuk hidup ke depan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang
kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini (penganut Sunda Wiwitan) tapi Pajajaran
yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! Aku tidak akan melarang,
sebab untukku, tidak pantas jadi raja jika rakyatnya lapar dan miskin).
[1][1]
Mushola yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin ini sekarang menjadi Mesjid Agung
Karawang.
[2][2]
Rahasia ghaib
[3][3] Nyai Subanglarang digambarkan dalam Purwaka Caruban sebagai “yata kanya paripurna ing hayu, kadi patang
welas kang chandra ng téjamaya.”(Nyai Subanglarang adalah wanita yang
kecantikannya sangat sempurna, ibarat cahaya terang bulan tanggal empat
belas.
[4][4] Pada zaman dahulu, tasbih yang biasa
digunakan orang Islam untuk wirid ini sulit dicari dan ditemukan, tidak seperti
pada zaman sekarang orang Islam mudah untuk mendapatkannya karena sudah banyak
toko-toko yang menjualnya.
[5][5] Hal
tersebut pernah dipublikasikan dalam tulisan Antropolog Nanang Saptono yang
berjudul “Di Jateng Ada Candi, Di Jabar Ada Kabuyutan”. Tulisan ini pernah dimuat
di harian Kompas edisi 3 September 2001.
[6][6] Mengenai
semakin tersebar luasnya ajaran agama Islam di wilayah Pajajaran, Prabu
Siliwangi pernah mengatakan “Ngaing Raja
Pajajaran hanteu nyaram somah milih agama, anu dicaram soteh nyaéta:
palah-pilih teu puguh milih, mimiti milih agama ieu laju bosen … milih deui!
Raja Pajajaran, henteu nyaram somah milih agama, ari tetala mah éta agama lain
pi’eun ngaganggu kasantosaan nagara, lain pi’eun macikeuh anu barodo, lain
pi’eun numpuk kabeungharan, lain pi’eun kasenangan sorangan. “(Raja
Pajajaran tidak melarang rakyat memilih agama, yang dilarang hanyalah
sembarangan memilih suatu yang tak tentu mula-mula pilih satu agama sudah bosan
… memilih lagi! Raja Pajajaran tak melarang rakyat memilih agama bila jelas itu
agama bukan untuk mengganggu kesejahteraan negeri, bukan untuk mengakali orang
bodoh, bukan untuk menumpuk kekayaan, bukan untuk kesenangan pribadi).