(logic of discovery) Bentang Saketi



“Laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon!” (Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa zaman sudah berganti).
Memang sungguh berat merubah mindset dan pengetahuan masyarakat yang sudah mendarah daging tentang sesuatu. Demikian kuatnya sehingga hal-hal yang baru akan dianggapnya sebagai sebuah penyimpangan yang mungkin akan menghancurkan kemapanan. Tetapi kita harus betul-betul  yakin dalam lingkungan masyarakat masih banyak orang-orang yang berhati bersih, ihlas mendengarkan dan menyimak dengan cermat sebelum mereka memutuskan sesuatu itu benar, kurang tepat atau malah salah besar. Salah satu soal yang saat menggoda menyampaikannya adalah 'sejarah umat Islam di Indonesia' dan 'umat Islam dalam sejarah'.
Realitas dan fakta penulisan sejarah umat Islam yang ada sekarang, menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah dan karenanya pastilah telah lama membentuk mindset pada sebagian masyarakat Indonesia. Yang kedua berkaitan dengan fakta yang benar benar faktuil tentang peran umat Islam selama ratusan tahun dalam kehidupan masyarakat yang sebagian besar tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, atau sengaja dikaburkan. Penulisan sejarah memang sarat dengan kepentingan politik.
Bagaimana sejarah itu ditulis bisa jadi alat melanggengkan kekuasaan seseorang atau suatu rezim. Contohnya adalah apa yang dilakukan Eugene Dubois. Setelah melakukan penelitian di pulau Jawa, khususnya di Mojokerto dan Kediri, ia berpendapat bahwa manusia yang pernah hidup di Indonesia adalah pithecantrophus erectus alias manusia kera yang berdiri tegak. Manusia jenis ini juga ditemukan di wilayah Afrika dan Asia lainnya. Sementara penelitian di Eropa menemukan jenis lain, yaitu homo sapiens bascilus atau manusia yang sudah bisa berfikir. Sudah bisa diduga bagaimana kesimpulannya : manusia eropa atau berkulit putih lebih pintar dan lebih maju dibandingkan orang Asia atau Afrika. Wajar saja kalau orang Eropa menjadi kaum penjajah, dan orang Asia dan Afrika menjadi kaum terjajah. Karena misi utama penjajahan adalah memperadabkan manusia pribumi. Itulah contoh sikap hipokrit orang Eropa. Mengatasnamakan kajian ilmiah tetapi maksud utamanya adalah membenarkan penjajahan.
Dalam kaitan dengan bagimana umat Islam dalam sejarah, sejak lama penjajah melakukan pendistorsian atas sejarah. Mereka ingin menggambarkan betapa bangsa Indonesia menjadi maju tatkala diperintah raja-raja Hindu dan Budha. Datangnya Islam tidaklah menghapuskan kehinduan mereka. Bahkan dalam kondisi zaman sekarang pun kehinduan itu tetap eksis. Contohnya adalah penulisan sejarah Prabu Siliwangi, raja orang Sunda yang dianggap punya kesaktian luar biasa, dan demi mempertahankan keyakinan hindunya, ia berubah menjadi harimau, sering muncul di hutan larangan yang bernama Hutan Sarongge di gunung Salak.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya, Menemukan Sejarah, bersumberkan buku Carita Purwaka Caruban Nagari  yang ditulis Pangeran Arya Cirebon (1720), Prabu Siliwangi ternyata masuk Islam. Ia menikah dengan seorang wanita bernama Nyai Subang Larang,  seorang santri putri Syekh Hasanudin yang dikenal sebagai Syekh Qura. Nah dari pernikahannya ini lahirlah tiga orang anak : Walang Sungsang, Nyai Rara Santang, dan Raja Sangara. Nyai Rara Santang dinikahi Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah, seorang Arab turunan Bani Ismail, kemudian berputera yang diberi nama Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Jadi salah seorang wali, itu ternyata cucu Prabu Siliwangi. Dengan demikian tidaklah benar cerita yang menyatakan Prabu Siliwangi sebagai seorang Hindu, bahkan rela meninggalkan istananya hanya untuk mempertahankan kehinduannya. Cerita ini sesungguhnya berasal dari penjajah Belanda. Bertujuan mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa Indonesia karena keengganan menerima kenyataan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan cara-cara damai, diantaranya melalui pernikahan campuran, hidup penuh sikap toleran bersama-sama umat Hindu serta berpengaruh besar dalam pembentukan tatanan sosial dan kultural bangsa ini.
Sejarah ini dimulai dengan cerita Syeikh Hasanuddin Sekitar tahun 1416 M, yang menyebarkan ajaran Islam di Kota Pelabuhan Karawang yang lebih tepatnya di Kali Citarum yang waktu itu di Kali tersebut digunakan sebagai pintu keluar masuk para pedagang ke negeri Sunda-Galuh. Syeikh Hasanudin singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang dimana kegiatan pemerintahan ada dalam kewenangan jabatan Dalem.
            Beliau dan para rombongan sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan sehingga aparat setempat pun sama-sama menghormati keberadaan mereka. Atas dasar saling menghargai dan menghormati ini, aparat setempat memberikan izin untuk mendirikan dibangunnya sebuah Mushola[1][1] pada sekitar tahun 1418. Mushola yang mereka bangun bukan hanya dijadikan sebagai sarana untuk ibadah tapi juga sekaligus sebagai tempat tinggal mereka. Syeikh Hasanuddin tak pernah berhenti untuk menyampaikan dakwahnya di Mushola yang dibangunnya itu. Karena uraian dan cara penyampaian dakwahnya mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat di Pelabuhan Karawang, banyak sekali yang tertarik dengan ajaran Islam. Ahli Qira’at ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang khas dan merdu. Sama halnya yang dilakukan oleh para santrinya yaitu Nyai Subanglarang, Syeikh Abdul Rahman, Syeikh Maulana Madzkur dan juga Syeikh Abdullah Dargom alias Syeikh Maghribi yang merupakan keturunan dari Sayyidina Utsman bin ‘Affan r.a. Dengan pengaruh kemerduan suara alunan ayat suci al-Qur’an yang dilantunkan Syeikh Hasanuddin, setiap harinya banyak masyarakat Karawang yang menyatakan diri untuk memeluk agama Islam. Masyarakat Karawang pun menjuluki Syeikh Hasanuddin ini dengan sebutan Syeikh Quro. 
Sejak berdirinya pesantren Pondok Quro, banyak masyarakat dari pesisir utara yang tertarik dan mengikuti ajaran agama baru (Islam) dan meninggalkan agama yang lama (Sunda Wiwitan). Banyak pula yang sengaja datang ke tempat itu untuk menimba ilmu agama Islam. Berita tentang banyaknya masyarakat yang memeluk agama Islam, rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Wastu Kencana yang sebelumnya pernah melarang Syeikh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala di Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Prabu Wastu Kencana mengirim utusan yang dipimpin oleh raja muda Surantaka yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup dan menghentikan kegiatan Syeikh Quro. 
Dari peristiwa inilah bermula yang nantinya dapat merubah keyakinan Raden Pamanah Rasa sekaligus akan mencatat sejarah baru perubahan besar Kerajaan Pajajaran pada masa kepemimpinannya. Kejadian ini bukan hanya pemicu timbulnya arus gelombang ajaran Islam, tapi juga sebagai mata rantai hilangnya Kerajaan Pajajaran hingga kini. Hal ini bukan dikarenakan adanya campur tangan ghaib atau hanya kebetulan semata, tapi semua itu telah di-skenario-kan oleh Sang Maha Sutradara Allah SWT dan menjadikannya sebagai asrar[2][2] yang suatu saat nanti pasti akan terungkap. 
            Tatkala raja muda Surantaka ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat al-Qur’an yang dilantunkan oleh Nyai Subanglarang. Raden Pamanah Rasa itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Syeikh Quro. Saking terpesonanya kepada Nyai Subanglarang, tanpa ragu-ragu lagi Raden Pamanah Rasa menyatakan isi hatinya untuk meminang Nyai Subanglarang yang selain cantik, cerdas dan juga bertutur kata yang baik.[3][3].
            Raden Pamanah Rasa segera meminang Nyai Subanglarang. Tetapi, Nyai Subanglarang akan menerima pinangan dari Raden Pamanah Rasa asal dengan mengajukan tiga permintaan sebagai mas kawinnya. Permintaan pertama ialah beliau menginginkan bentang saketi atau ada juga yang menyebutkan Lintang Kerti Jejer Seratus yang tak lain adalah tasbih yang mengandung makna secara simbolis bahwa beliau akan tetap konsisten memeluk agama Islam dan melakukan wirid sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai seorang muslimah yang taat akan tetap melaksanakan syariat Islam dengan sungguh-sungguh. Permohonan kesatu Nyai Subanglarang ini disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Kemudian, atas petunjuk Syeikh Quro, raja muda Surantaka ini pun segera pergi ke Mekkah untuk mencari tasbih.[4][4]
            Di tanah suci Mekkah, Raden Pamanah Rasa disambut oleh Syeikh Maulana Ja’far Shiddiq. Beliau merasa kaget yang bercampur rasa heran ketika Syeikh itu telah mengetahui akan kedatangan beliau sebelum dirinya tiba disana. Selain itu, beliau pun terkejut saat nama dan keturunannya diketahui oleh Syeikh Ja’far Shiddiq meski sebelumnya tak pernah mengenali Raden Pamanah Rasa.
            Syeikh Ja’far Shiddiq bersedia akan membantu mencarikan bentang saketi dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat. Karena kecintaannya terhadap Nyai Subanglarang, beliau pun akhirnya mengucapkan Dua Kalimah Syahadat yang tentunya bermakna pengakuan kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Semenjak itulah, Raden Pamanah Rasa memeluk agama Islam dan diberikan bentang saketi oleh Syeikh Ja’far Shiddiq sebagai mas kawin untuk menikah dengan Nyai Subanglarang.
            Namun perlu diketahui, bahwa meskipun Raden Pamanah Rasa telah mengucapkan Dua Kalimah Syahadat saat di Mekkah itu, ternyata Raden Pamanah Rasa setelah dinobatkan menjadi penguasa kerajaan Sunda-Galuh yang nantinya dirubah menjadi kerajaan Pajajaran olehnya dan diberikan gelar Sri Baduga Maharaja yang dijuluki Prabu Siliwangi ini, tetap menjadikan agama resmi kerajaan Pajajaran yang dianut saat itu adalah Sunda Wiwitan. Hal ini disebabkan karena beliau ingin mempertahankan ajaran-ajaran dan tradisi dari leluhur-leluhurnya.
            Ajaran Sunda Wiwitan merupakan ajaran warisan dari leluhur sunda yang dijunjung tinggi dan menitikberatkan pada kesejahteraan. Agama Sunda Wiwitan tidak mensyaratkan untuk membangun tempat peribadatan khusus. Oleh karena itu, maka sisa-sisa peninggalan yang berupa Pura ataupun Candi hampir tidak diketemukan di Jawa Barat tidak seperti di Jawa Tengah.[5][5].
Permintaan Nyai Subanglarang yang kedua adalah kelak jika mempunyai keturunan, maka anak-anaknya harus memeluk agama Islam dan tidak memeluk agama Sunda Wiwitan. Jika anaknya laki-laki harus jadi muslim, dan jika anaknya perempuan harus menjadi muslimah. Raden Pamanah Rasa pun mengabulkan permohonan yang kedua ini dan menepati janjinya tersebut tatkala anak-anaknya telah lahir.   
            Dari pernikahan dengan Nyai Subanglarang ini, Raden Pamanah Rasa dikaruniai tiga orang anak yaitu Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M. Kedua adalah Rarasantang yang lahir tahun 1426 M, sedangkan anaknya yang ketiga adalah Raja Sanggara yang lahir pada tahun 1428 M. Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dan Nyai Ratu Subanglarang memang telah membawa hikmah yang sangat besar dan Syeikh Quro memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke dalam kerajaan Pajajaran. Inilah kehendak Allah SWT yang tidak dapat dihalang-halang meski kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan besar yang menjunjung tinggi ajaran leluhurnya, Sunda Wiwitan.
            Para putra-putri yang dikandung oleh Nyai Subanglarang yang muslimah itu, memancarkan sinar iman dan Islam bagi ummat di Negeri Pajajaran. Perbedaan yang mencolok antara seorang Ibu Subanglarang dengan istri-istri Prabu Siliwangi yang lainnya adalah keunggulan dalam hal mendidik anak-anaknya. Beliau mencerminkan sosok ibu yang sangat ideal dan dikenang hingga kini oleh sebagian masyarakat. Ibu Subanglarang lah yang biasa disebut dengan nama Ibu Ratu, bukan Nyai Roro Kidul yang telah diyakini selama ini oleh sebagian masyarakat.
            Melihat kondisi Pakuan Pajajaran yang pada waktu itu masih menganut Sunda Wiwitan dan sebagai  agama resmi kerajaan, Nyai Subanglarang merasa tidak mungkin bisa mengajarkan Islam kepada putra-putrinya sendirian. Oleh karena itu, ia mengirim putra pertamanya yang bernama Walangsungsang berguru kepada seorang Ulama Thoriqoh, Syeikh Nur Kahfi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Nur Jati. Beliau adalah seorang mubaligh asal Baghdad yang memilih bermukim di pelabuhan Muara Jati dan mendirikan perguruan Islam Gunung Jati Cirebon.
            Setelah Walangsungsang melewati usia remaja bersama adik perempuannya yaitu Nyimas Rarasantang, mereka berdua diizinkan untuk meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran dan menimba ilmu di perguruan Islam Gunung Jati Cirebon. Sedangkan anak ketiganya, Raja Sanggara menuntut ilmu agama Islam dan mengembara hingga ke Timur Tengah.
 Kepergian dan tujuan anak-anaknya ini jelas telah mendapatkan restu dari Prabu Siliwangi. Tidak mungkin jika tanpa izin dari beliau yang sebagai ayahandanya mereka. Pemberian izin dan restu kepada anak-anaknya ini merupakan bentuk penepatan janjinya kepada Nyai Subanglarang ketika beliau hendak meminangnya kala itu yang meminta anak-anak Nyai Subanglarang tidak memeluk agama Sunda Wiwitan. Prabu Siliwangi merupakan sosok tipikal pemimpin yang selalu menepati janji-janjinya kepada siapapun terlebih kepada istrinya meskipun keinginannya sudah tercapai. 
            Selanjutnya, permintaan Nyai Subanglarang yang ketiga adalah menginginkan keturunannya kelak harus menjadi seorang raja. Permintaan yang terakhir ini pun dikabulkan oleh Prabu Siliwangi demi kesungguhan cintanya terhadap Nyai Subanglarang yang cantik dan cerdas itu. Prabu Anom Walangsungsang yang merupakan anak pertama mereka menjadi bukti atas realisasi janji Prabu Siliwangi terhadap permintaan Nyai Subanglarang. Sejarah mencatat bahwa Prabu Anom Walangsungsang merupakan pendiri sekaligus sebagai pemimpin Nagari Caruban Larang atas restu dari ayahandanya dan memberikannya gelar Sri Mangana.
            Nagari Caruban Larang dahulunya merupakan sebuah pedukuhan yang daerahnya bernama Tegal Alang-alang. Keberhasilan pembangunan yang dilakukan Prabu Anom Walangsungsang menunjukan hasil yang gemilang atas dukungan dan petunjuk dari gurunya, Syeikh Nur Jati yang merupakan peletak dasar Islam di Nagari Caruban Larang dan sangat berjasa dalam penyebaran Islam disana. Semakin maju hingga setiap hari banyak orang yang berdatangan untuk mempelajari Islam dan memilih menetap di Nagari Caruban Larang. 
            Dalam waktu singkat Nagari Caruban Larang telah terkenal hampir ke seluruh Tanah Jawa. Prabu Anom Walangsungsang yang dijuluki Pangeran Cakrabuana ini telah cukup berhasil dalam menyebarkan agama Islam dan membangun pemerintahannya dengan massive. Hal tentang semakin meluasnya penyebaran agama Islam di wilayah kerajaan Pajajaran tersebut telah terdengar oleh Prabu Siliwangi. Meskipun ajaran Islam telah masuk dan mempengaruhi sebagian masyarakat Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sama sekali tidak pernah melarang kegiatan penyebaran agama Islam. Beliau malah memberi keleluasaan kepada masyarakatnya untuk memilih agama menurut keyakinan mereka.[6][6] Hal ini disebabkan bukan hanya Prabu Siliwangi memiliki hati yang tulus dan telah ber-Syahadat, tapi juga karena Nyai Subanglarang yang sebagai istri keduanya serta anak-anaknya pun memeluk agama Islam.     
            Meskipun demikian, Nagari Caruban Larang pada masa kepemimpinan Pangeran Cakrabuana masih belum menjadi negeri yang mandiri dan masih berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Hal ini dikarenakan pada waktu itu, Prabu Siliwangi memberikan gelar Sri Mangana kepada Pangeran Cakrabuana bukan sebagai tanda pengakuan kedaulatan, melainkan hanya sebagai raja daerah yang tetap dalam posisi bawahan Pakuan Pajajaran.
            Namun, setelah peralihan kekuasaan Nagari Caruban Larang dari Pangeran Cakrabuana kepada Syarif Hidayatullah dan mendirikan Kesultanan Pakungwati, Cirebon barulah menjadi Kesultanan yang mempunyai kedaulatan. Syarif Hidayatullah ini merupakan anak dari Nyimas Rarasantang adiknya Pangeran Cakrabuana. Beliau dinobatkan menjadi Sultan Cirebon atau Susuhunan Jati setelah ia menikahi anak dari Pangeran Cakrabuana, Nyimas Pakungwati yang masih sama-sama merupakan cucu Prabu Siliwangi.
            Dari keturunan Prabu Siliwangi dari istrinya Subanglarang ini telah banyak melahirkan para ulama-ulama besar agama Islam di Jawa Barat yang diantaranya menjadi salah satu dari Wali Songo yakni yang dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Djati yang tak lain adalah Syarif Hidayatullah. Mereka semua keturunan dari Nyai Subanglarang dan telah mengukir catatan sejarah serta dikenang sebagai para pejuang dan penyebar agama Islam di Tatar Sunda atau wilayah Kerajaan Pajajaran. Karena, memang sejatinya sejarah Pajajaran itu begitu erat kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.
             

Bahasan Terakhir
Ketika Prabu Siliwangi hendak menikahi Nyai Subanglarang bahwa secara logika dan menurut sisi hukum Syari’at Islam bukan berdasarkan hasil terawangan ataupun penelusuran batin yang salah kaprah, jika seorang non muslim hendak menikahi wanita atau pria yang beragama Islam maka ia yang non muslim apapun agamanya terlebih dahulu harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat sebelum akad pernikahannya dilangsungkan. Di dalam ajaran agama Islam, tidak ada seorang ulama pun yang membolehkan wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, bahkan ijma’ para ulama menyatakan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim
            Kondisi tersebut sama persis kedudukannya saat peristiwa dimana seorang non muslim dalam hal ini adalah Prabu Siliwangi yang akan menikahi seorang muslimah, Nyai Subanglarang. Maka hukum Islam diatas sangat berlaku baginya meski beliau merupakan seorang raja harus tunduk pada syari’at Islam. Apalagi yang menikahkan mereka adalah seorang ulama besar yakni Syeikh Quro. Sangat tidak mungkin jika hukum syari’at Islam tidak diketahuinya atau tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Inilah fakta yang mempunyai dasar, bukan hanya menurut “konon katanya”.
            Dalam sumber sejarah Carita Parahyangan, pemerintahan pada masa Prabu Siliwangi dilukiskan sebagai berikut:
“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa”. (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
            “Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engke jagana jembar senang mugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran. Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obahna zaman; Pilih: ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, heunteu pantes jadi raja amun somah sakabehna lapar bae jeung balangsak.” (Kalian boleh memilih untuk hidup ke depan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini (penganut Sunda Wiwitan) tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! Aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja jika rakyatnya lapar dan miskin).



[1][1] Mushola yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin ini sekarang menjadi Mesjid Agung Karawang.
[2][2] Rahasia ghaib
[3][3] Nyai Subanglarang digambarkan dalam Purwaka Caruban sebagai “yata kanya paripurna ing hayu, kadi patang welas kang chandra ng téjamaya.”(Nyai Subanglarang adalah wanita yang kecantikannya sangat sempurna, ibarat cahaya terang bulan tanggal empat belas.   
[4][4] Pada zaman dahulu, tasbih yang biasa digunakan orang Islam untuk wirid ini sulit dicari dan ditemukan, tidak seperti pada zaman sekarang orang Islam mudah untuk mendapatkannya karena sudah banyak toko-toko yang menjualnya.
[5][5] Hal tersebut pernah dipublikasikan dalam tulisan Antropolog Nanang Saptono yang berjudul “Di Jateng Ada Candi, Di Jabar Ada Kabuyutan”. Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas edisi 3 September 2001.
[6][6] Mengenai semakin tersebar luasnya ajaran agama Islam di wilayah Pajajaran, Prabu Siliwangi pernah mengatakan “Ngaing Raja Pajajaran hanteu nyaram somah milih agama, anu dicaram soteh nyaéta: palah-pilih teu puguh milih, mimiti milih agama ieu laju bosen … milih deui! Raja Pajajaran, henteu nyaram somah milih agama, ari tetala mah éta agama lain pi’eun ngaganggu kasantosaan nagara, lain pi’eun macikeuh anu barodo, lain pi’eun numpuk kabeungharan, lain pi’eun kasenangan sorangan. “(Raja Pajajaran tidak melarang rakyat memilih agama, yang dilarang hanyalah sembarangan memilih suatu yang tak tentu mula-mula pilih satu agama sudah bosan … memilih lagi! Raja Pajajaran tak melarang rakyat memilih agama bila jelas itu agama bukan untuk mengganggu kesejahteraan negeri, bukan untuk mengakali orang bodoh, bukan untuk menumpuk kekayaan, bukan untuk kesenangan pribadi).

Popular posts from this blog

CARA MUDAH UJI VALIDITAS INSTRUMEN DALAM MS. EXCEL

Hitung Rtabel dengan Microsoft Excel

LANDASAN KERJA DAN KARAKTERISTIK STATISTIK